Penerapan Disiplin Positif Melalui Segitiga
Restitusi
Oleh:
Binton Mustofa
CGP Angkatan 5 Kabupaten Banyumas
Guru SDN 5 Wangon
Unsur utama dalam disiplin
positif yaitu budaya positif. Kata disiplin identik dengan suatu hal
yang kaku bahkan memaksa. Kesannya, setiap siswa melanggar disiplin harus di
hukum.
Konsep disiplin positif artinya kita membimbing murid untuk menumbuhkan disiplin
diri. Disiplin diri tumbuh karena motivasi internal atau kesadaran diri bukan
karena terancam. Tujuannya untuk
mewujudkan murid yang merdeka.
Selain motivasi internal, juga diperlukan pihak lain untuk
mendisiplinkan. Pihak lain yang mendisiplinkan kita disebut motivasi eksternal.
Konsep ini selaras dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara bahwa disiplin diri
diperlukan untuk menciptakan murid yang merdeka.
Disiplin diri mampu membuat seseorang menggali kekuatan atau
potensinya. Disiplin diri merupakan kemampuan mengontrol diri, menguasai diri
serta menentukan sikap yang mengacu pada nilai budaya positif.
Penerapan disiplin diri dapat melalui segitiga restitusi. Restitusi
adalah proses
menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga
mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat
(Gossen; 2004).
Restitusi juga proses kolaboratif yang
mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid
berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka
harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Restitusi membantu murid menjadi lebih
memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat
salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan
orang lain atau menghindari ketidaknyamanan. Namun tujuannya adalah menjadi
orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Karena pada
dasarnya setiap orang memiliki motivasi intrinsik yang mendasari perilakunya.
Melaui restitusi, diharapkan ketika murid
melakukan kesalahan/pelanggaran maka guru dapat menanggapi dengan sikap yang dapat
membuat murid melakukan evaluasi internal. Sehingga murid bisa menemukan solusi
untuk memperbaiki kesalahan dan mendapatkan kembali harga dirinya.
Sederhananya, saya katakan bahwa melalui
restitusi, guru dapat mengambil respon yang bijak saat menemukan murid
melakukan pelanggaran. Respon yang diberikan guru tidak menjatuhkan harga diri
muridnya.
Karena saat murid melakukan kesalahan,
mereka dalam kondisi labil. Jika menanggapinya secara berlebihan akan membuat murid
sakit hati serta jatuh harga dirinya. Bukannya membuat murid sadar akan kesalahan
justru membuat mereka sakit hati/dendam.
Disinilah pentingnya restitusi. Restitusi bisa
menjadi manajemen konflik. Setelah restitusi diperkukan juga posisi kontrol
guru. Dulu, ketika ada pelanggaran murid. Tindakan atau posisi guru adalah
stimulus respon yang reaktif dengan memarahi bahkan memberikan hukuman.
Sekarang di rubah pola stimulus respon
menjadi posisi kontrol. Hukuman bersifat reaktif dan terjadi secara tiba-tiba. Berbeda
dengan konsekuensi yang merupakan kondisi atas resiko setelah melakukan
pelanggaran. Konsekuensi dari awal sudah disadari adanya aturan dan resiko.
Aturan inilah yang menjadi kesepakatan
kelas atau keyakinan bersama. Berdasarkan keyakinan kelas maka ada konstruksi
ketika pelanggaran terjadi. Kosntruksi ini bukan lagi tindakan stimulus respon
tapi lebih pada restitusi. Sedangkan cara guru menanggapi pelanggaran tersebut
adalah posisi kontrol.
Ada lima posisi kontrol guru yaitu penghukum, pembuat merasa bersalah,
teman, pemantau, dan manajer. Segitiga restitusi dapat diterapkan bila
ditemukan murid melakukan pelanggaran keyakinan kelas. Segitiga restitusi
memiliki tiga langah yaitu menstabilkan identitas, validasi tindakan yang
salah, dan menanyakan keyakinan.
Berdasarkan segitiga restitusi, ketika murid melakukan kesalahan
jangan lagsung dimarahi. Kita stabilkan identias dengan menanggapi secara
lembut karena pada dasarnya murid melakukan sikap memiliki motivasi internal.
Kemudian, validasi kesalahan yaitu dengan menanyakan apa
lasannya. Manyakan keyakinan berkaitan dengan apa murid inginkan setelah
melakukan kesalahan. Solusi yang murid temukan agar tidak melakukan kesalahan.
Kemudian guru dorong murid agar yakin terhadap solusinya sehingga tidak terjadi
kesalahan lagi. Penyelesaian konflik seperti ini bisa membuat murid menghindari
kesalahan karena motivasi diri bukan paksaan.
Gambar 1. Segitiga Restitusi
Konstruksi penerapan segitiga restitusi pada murid yang
terlambat sekolah:
Jika murid melakukan pelanggaran, langkah apa yang harus
dilakukan?
Siapa yang mengawasi?
Apakah diberikan hukuman atau memaafkan saja?
Contoh kasus:
Ketika melakukan pembelajaran IPA terdapat siswa datang
terlambat. Apakah siswa tersebut diperbolehkan mengikuti pelajaran atau tidak?
Selama ini kebiasaan guru adalah langsung memaafkan atau membuat
mereka tidak nyaman. Perhatian kita cenderung pada kesalahan yang dilakukan
dari pada mencari cara bagi mereka untuk memperbaiki diri.
Salah satu cara untuk memperbaiki diri agar terwujud disiplin
diri dapat dilakukan melaui segitiga restitusi. Segitiga restitusi adalah
proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka,
sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih
kuat (Gossen; 2004 dalam LMS Guru Penggerak Modul 1.4 Budaya Positif 2021).
Restitusi membantu murid untuk jujur pada diri sendiri dan
mengevaluasi dampak dari kesalahan yang dilakukan. Restitusi memberikan
penawaran bukan paksaan. Sangat penting bagi guru untuk menciptakan kondisi
yang membuat murid bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi,
dengan berkata, “Semua orang pasti pernah berbuat salah”, bukan mengatakan,
“Kamu harus lakukan ini, kalau tidak maka…”.
Langkah pertama pada bagian dasar segitiga adalah
menstabilkan identitas. Jika anak berbuat salah maka ada kebutuhan dasar mereka
yang tidak terpenuhi. Bagian dasar segitiga restitusi memiliki tujuan untuk
merubah orang yang gagal karena telah berbuat kesalahan menjadi orang yang
sukses.
Kita harus mampu meyakinkan mereka dengan mengatakan kalimat
seperti 1) tidak ada manusia yang sempurna; saya juga pernah melakukan
kesalahan seperti itu. Ketika seseorang dalam kondisi emosional maka otak tidak
akan mampu berpikir rasional, saat inilah kita menstabilkan identitas anak.
Anak kita bantu untuk tenang dan mencari solusi untuk menyelesaikan
permasalahan.
Gambar 2. Anak datang terlambat
Langkah kedua adalah memvalidasi tindakan yang salah. Konsep langkah
kedua adalah kita harus memahami kebutuhan dasar yang mendasari tindakan anak
berbuat kesalahan. Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau
buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu (LMS Guru Penggerak, 2021). Ketika
kita menolak anak yang berbuat salah, dia akan tetap dalam masalah. Yang
diperlukan adalah kita memahami alasan melakukan hal tersebut sehingga anak
merasa dipahami.
Gambar 3. Proses validasi kesalahan
Langkah ketiga yaitu menanyakan keyakinan. Teori kontrol
menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika langkah
1 dan Langkah 2 sukses dilakukan, maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan
nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
Gambar 4. Proses menanyakan keyakinan
Penting menanyakan ke murid tentang kehidupan yang dia inginkan
di masa depan. Ketika mereka sudah menemukan gambaran masa depannya, guru dapat
membantu murid untuk fokus pada gambarannya.
Melalui segitiga restitusi kita dapat mewujudkan mereka menjadi
murid yang merdeka. Mereka mampu menyelesaikan masalah dengan motivasi internal
dan bertanggung jawab terhadap pilihannya.
Lampiran:
Link Aksi Nyata Modul
1.4 Budaya Positif: Demonstrasi kontekstual 1.4 Budaya Positif
Karya literasi yang
sama telah dimuat di: https://edutainmentnusantara.blogspot.com/